Yayasan Iqro

You are currently viewing BEKERJA DI USAHA KONVENSIONAL

BEKERJA DI USAHA KONVENSIONAL

Please Share.....

Seiring dengan berkembangnya zaman, makin banyak perusahaan baru yang bermunculan. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memproduksi produk produk yang tidak halal atau menjalankan sistem yang haram.

Saking banyak atau menjamurnya, kini perusahaan ini menjadi pilihan utama para pekerja yang baru saja akan memulai karirnya atau bagi para pekerja yang sudah lama berkarir dan ingin menantang dirinya untuk berkembang.

Selain dinilai lebih dekat dengan anak muda dan teknologi, perusahaan ini juga diyakini memiliki lebih banyak kesempatan belajar dibanding perusahaan syariah.

Lantas seiring dengan makin populernya, apakah bekerja di perusahaan konvensional pada kenyataannya boleh ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita bedah perbedaan mendasar jika bekerja di masing-masing perusahaan ini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensional sendiri memiliki arti kesepakatan umum (seperti adat, kebiasaan, dan kelaziman).

Contoh konvensional di masyarakat, antara lain; Seorang laki-laki melakukan lamaran atau mendekati seorang wanita dan bukan sebaliknya. Sikap tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dipraktikan walaupun sifatnya tidak tertulis, namun telah mengakar dan diimplementasikan oleh masyarakat.

Usaha konvensional adalah usaha yang dilakukan dengan cara lama atau konvensional tanpa memanfaatkan kecanggihan teknologi. Usaha konvensional sering diartikan sebagai usaha yang dilakukan secara offline dengan membuka toko atau tempat fisik tidak menggunakan media online.

contoh bisnis konvensional yang masih dilakukan sampai sekarang antara lain toko kelontong, rumah makan, jasa jahit baju, salon, depot air minum, dan bimbingan belajar.

HUKUM

Hukum bekerja diusaha konvensional itu tergantung dari usaha apa yang mereka jalankan. Jika usahanya halal maka boleh, aka tetapi jika usahanya haram maka tidak boleh. Juga tergantung dengan sistem atau cara mereka menjalankan usahanya. Jika caranya halal maka boleh, kalau caranya tidak halal maka haram atau tidak boleh.

Dana non-halal adalah setiap pendapatan yang bersumber dari usaha yang tidak halal (al-kasbu al-ghairi al-mayru’). Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menjelaskan, beberapa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah tersebut yaitu usaha lembaga keuangan konvensional,  perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang terlarang. Kemudian, produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram atau penyedia barang-barang dan jasa yang merusak moral.

Jika dijelaskan ulang, bekerja di usaha yang tidak halal tersebut adalah bekerja di perusahaan (entitas) yang bisnis utama usahanya tidak halal. Di antara kegiatan usahanya mengatur atau memperjualbelikan produk yang tidak halal, baik haram karena fisik (seperti babi dan khamr) maupun haram karena nonfisik. Di antara contohnya adalah bekerja di (minuman keras dan asusila), usaha produksi (distribusi) narkoba, usaha produksi pornografi dan pornoaksi, usaha pencucian uang, transaksi korupsi dan sejenisnya.

 Menurut fikih, bekerja di usaha-usaha tersebut di atas itu tidak diperkenankan (haram) dalam Islam, termasuk setiap orang yang terlibat dalam usaha tersebut juga tidak diperkenankan dalam Islam.

Contohnya dalam masalah riba. Dari Jabir, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, Pemberi riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka itu dosanya sama.’” (HR Muslim).

Begitu pula dalam masalah risywah,  dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa ” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Begitu pula dalam bab-bab lain, Allah tidak hanya mengharamkan pelakunya langsung, tetapi juga pelaku tidak langsung. Sesuai dengan kaidah sad adz dzari’ah (meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang).

 

Kesimpulan tersebut juga yang bisa dipahami dari pernyataan Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Keputusannya no. 7/1/65, pada perteman ke-7 sebagai berikut: bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan usaha yang haram, seperti transaksi ribawi,  memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang haram. Pada prinsipnya, haram membeli saham pada perusahaan yang kadang- kadang melakukan  transaksi  yang haram seperti transaksi ribawi dan sejenisnya, walaupun kegiatan utama perusahaan tersebut itu  adalah usaha yang halal. (Qararat wa taushiyat majma al-fiqhi al-islami at-tabi’ li munadzamati al-mu’tamar al-islami, hal. 212).

Di antara dalil (istisyhad) yang digunakan adalah kaidah fikih berikut: Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram. Sesuai kaidah fikih ini, jika dana halal bercampur dengan dana haram, maka hukum haram lebih diunggulkan dan menjadi hukum keseluruhan dana tersebut. (al-Asybah wa an-nadzair, as-Suyuthi dan al-Mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah, 8/76).

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa bekerja di perusahaan (entitas) yang bisnis utama usahanya tidak halal sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas itu tidak diperkenankan dalam Islam. Selanjutnya berikhtiarlah mencari usaha (maisyah) yang halal, agar pendapatan menjadi berkah.


Please Share.....

Leave a Reply