Jagoan kandang …
Demikian istilah bagi anak yang biasanya aktif dan berani saat di rumah namun terdiam dan cenderung pasif saat di luar rumah. Mengapa itu bisa terjadi?
Rumah adalah lingkungan pertama yang dirasakan anak untuk belajar tentang kehidupan. Karenanya bagaimana ia di rumah akan berpengaruh banyak pada bagaimana ia menghadapi dunia luar. Cara berpikir, bersikap dan bertindak. Ketika anak mendapatkan rasa aman di rumah maka ia akan selalu kembali ke rumah dan cukup keberanian menghadapi dunia luar . Ketika rumah menjadi tempat yang menegangkan, maka ia akan alami kegamangan dalam menghadapi dunia luar.
Aman seperti apa? Perasaan aman , bukan berarti harus terus menerus didampingi oleh penjaga keamanan. Atau diproteksi dari segala hal yang membahayakan secara fisik hingga anak tinggal bergerak dan pasti aman, selamat. Bukan rasa aman itu yang dimaksud. Bukan rasa aman yang memunculkan ketergantungan akan “pengamanan”, melainkan rasa aman yang muncul karena anak tahu harus bereaksi atau merespon seperti apa /bagaimana.
Dengan demikian yang perlu dibangun dari rumah adalah kemandirian. Kemandirian tidak tumbuh karena sering dibiarkan atau ditinggal sendirian. Kemandirian muncul karena anak diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri (by his/her self) setelah mendapatkan bimbingan sebelumnya. Ingat, anak tidak pintar dengan sendirinya. Ia juga tidak bisa terampil tanpa latihan. Semua perlu proses belajar. Orang tua lah yang menjadi nara sumber dalam proses belajarnya, proses pendidikan.
Ada beberapa metode yang efektif dalam mendidik, yaitu dengan memberi contoh (qudwah), kebiasaan, kisah, sikap atas kejadian: penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment). Hukuman adalah metode yang terakhir digunakan.
Bagaimana proses belajar anak agar perilaku yang diharapkan muncul? Yang pertama tentu dengan memberikan contoh bagaimana cara melakukan sesuatu yang diharapkan. Kemudian terus diulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Kuatkan dengan menceritakan kisah yang relevan dengan hal tersebut. Lalu bagian yang tidak kalah penting adalah tunjukan sikap yang nyata dan jelas dari orang tua saat melihat/alami suatu kejadian, khususnya terkait dengan target perilaku yang sedang dibangun. Ketika anak melakukan perilaku yang diharapkan lakukan penguatan (bisa dengan reward). Sebaliknya jika anak melakukan pelanggaran atau kesalahan bisa diberikan punishment atau konsekuensi.
Target kali ini adalah anak berani bersosialisasi, mau berteman, berinteraksi dengan orang lain di luar rumah. Maka segala sesuatu terkait sosialisasi, pertemanan dan sejenisnya kita ajarkan kepada anak kita.
Misalnya kita ajarkan bagaimana cara menyapa, menjawab pertanyaan, berterima kasih, meminta maaf, memaafkan dan sebagainya. Mulai dengan metode paling awal : berikan contoh yang baik (qudwah hasanah). Menceritakan bagaimana para sahabat “berteman” dan indahnya pertemanan mereka bisa menjadi gambaran tentang pertemanan yang ideal. Pengalaman-pengalaman penting dan menarik dari ayah-ibu terkait pertemanan juga bisa menjadi penguat dalam membangun perilaku, selain membacakan buku tentang pertemanan baik fable maupun kisah anak lainnya. Hal yang penting dan seringkali terjadi kekeliruan adalah terkait sikap atau respon terhadap perilaku anak terkait hal tersebut. Misalnya ketika anak belum berani menjawab pertanyaan lalu dikomentari : “Ayo jawab, kamu gak punya mulut ya?”. Atau ketika anak masuk rumah orang lain dengan cara “nyelonong” dan langsung duduk lalu orang tua berkomentar pada tuan rumah “Aduh maaf ya bu/pak anak saya nakal..” . Teguran atau komentar hendaknya tidak mengganggu harga diri atau melabel negatif pada anak.
Selayaknya orang tua berupaya menjaga anak dari tindakan yang tidak diharapkan. Misalnya dengan menahan anak “nyelonong” masuk rumah sambil memegangi tangannya lalu mencegah dia duduk dan berkata “Maaf kita tunggu sampai yang punya rumah persilakan masuk dan meminta kita duduk”. Begitu juga saat anak tidak mau menjawab pertanyaan, ayah, bunda juga bisa membantunya menjawab pertanyaan sambil mendekati anak dan membujuknya mengikuti jawaban tersebut. Jika pun belum mau tidak perlu dipaksa saat itu. Namun setelah bertamu selesai lakukan evaluasi. Menjelaskan pada anak bahwa menjawab pertanyaan itu bagian dari sopan santun dan cara kita berteman.
Saat anak menunjukkan perilaku yang diharapkan, lakukan penguatan misalnya dengan memberikan pujian , “Ibu senang mengajak kakak bertamu karena kakak anak yang sopan dan santun.” Atau memberikan sebatang coklat (makanan/minuman kesukaan) sambil mengatakan : “Ini hadiah bagi anak ibu yang sholih/sholihah yang sudah pandai bertamu dengan sopan.” Selalu dijelaskan apa alasan hadiah itu diberikan agar ia merasakan usaha atau prestasinya sudah diapresiasi / dihargai.
Awali dengan penjelasan dan arahan tentang perilaku yang diharapkan. Berikan lebih banyak pujian daripada kritikan. Berikan hukuman hanya untuk pelanggaran atau kesalahan yang bersifat prinsip (syar’i). In syaa’ Allah dengan demikian anak dapat berkembang baik dan bahagia, hingga ia pun akan membawa kebahagiannya ke dunia luar. Wallahu’alam bishowab.
Oleh : Leli Latifah, Psi.
Jazakillah ahsanal jazaa, atas pencerahannya… tidak ada ruginya memperbaiki meski sudah lama berlalu