KEPENTINGAN PRIBADI
Kepentingan pribadi, yaitu keinginan/kebutuhan pegawai mengenai suatu hal yang bersifat pribadi
KEPENTINGAN UMUM
kepentingan umum adalah kepentingan orang banyak yang untuk mengaksesnya, tidak mensyaratkan beban tertentu. Misalnya, pembuatan jembatan, yang orang bisa melewatinya tanpa harus membayar, berbeda dengan jika masuk hotel yang harus membayar.
ALTRUISME
Altruisme berarti sikap mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi atau golongan. Ini merupakan sikap yang amat mulia dalam pandangan Islam, bahkan dalam pandangan semua agama.
Dalam istilah agama disebut itsar () adalah mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri. Satu sifat yang mungkin sudah agak sulit kita temukan kini. Padahal itsar adalah salah satu akhlak yang paling utama.
Bahkan dalam beberapa tulisan tentang tingkatan ukhuwah, itsar berada pada tingkatan tertinggi dalam implementasi ukhuwah islamiyah
Dalam salah satu hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) didunia dan di akhirat.
Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Seseorang yang gemar membantu orang lain, memudahkan banyak urusan orang lain, bahkan lebih mengutamakan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri tentu akan memperoleh banyak simpati dari orang-orang di sekitarnya, terlebih lagi oleh mereka yang pernah dimudahkan urusannya dan dibantu penyelesaian masalahnya sehingga akan menimbulkan rasa simpati dan saling menyayangi satu sama lain.
Ada sebuah kisah yang sangat menyentuh dari banyak kisah sahabat yang pernah diriwayatkan. suatu ketika, keluarga Ali bin Abi Thalib bersama isterinya, Fatimah Az Zahra, pun berpuasa.
Menjelang tiba waktu berbuka di hari pertama, hanya tersedia dua potong roti untuk makanan berbuka. Ketika waktu berbuka tiba, belum lagi keduanya menyantap roti tersebut, datang seorang fakir miskin yang mengetuk pintu mereka seraya meminta makanan lantaran perutnya belum terisi sejak beberapa hari.
Urunglah Ali dan Fatimah melahap roti yang sudah digenggamnya, mereka pun meneruskan berpuasa hingga keesokan harinya.
Di hari kedua berpuasa, mereka pun hanya memiliki sepotong roti untuk dimakan berdua pada waktu berbuka nanti. Seperti halnya hari kemarin, tiba saatnya berbuka, pintu pun kembali terdengar diketuk seseorang.
Rupanya seorang anak yatim yang meminta makanan karena kelaparan. Tak kuasa menahan iba, Ali pun memberikan sepotong roti itu kepada anak yatim itu. Keduanya kembali berpuasa.
Ujian memang selalu diberikan Allah kepada orang seperti Ali dan Fatimah. Bahkan di hari ketiga berpuasa pun, sepotong roti yang mereka punya pada saat menjelang berbuka ikhlas mereka berikan kepada seorang tawanan yang baru saja bebas namun tak mempunyai makanan. Ali, Fatimah, dan kedua anaknya, Hasan dan Husain mengerti bahwa semua ini hanyalah ujian kesabaran dari Allah.
Sebuah pelajaran yang teramat mengharukan dari keluarga Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang penyabar. Betapa Allah tengah menguji mereka, akankah mereka tetap beriman dan mau menyedekahkan rezeki milik mereka kepada orang lain, meskipun mereka teramat membutuhkan. Bahkan kisah yang teramat indah ini Allah lukiskan dalam Al-Quran Surat Al-Insaan (76): 8-10, agar menjadi pelajaran bagi kebanyakan manusia.
Memberi di saat berlebih adalah hal mudah, meski tidak semua orang melakukannya. Tetapi memberi di saat kita membutuhkan, hanyalah orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah di surga kelak yang sanggup melakukannya. Butuh perjuangan, keikhlasan dan kesabaran untuk meniru apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya. Tentu saja kita bisa, jika kita mau.
Kisah lain, adalah kisah tiga orang sahabat Nabi di Perang Yarmuk yang dengan sempurna memberikan contoh kepada kita tentang apa itu mendahulukan orang lain dari diri sendiri. Kisah ini terjadi pada akhir Perang Yarmuk. Saat itu ada tiga orang mujahid yang terkapar dalam kondisi kritis. Mereka adalah Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Ketika itu Al-Harits meminta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia mengetahui kondisi Ikrimah juga dalam keadaan yang mengkhawatirkan seperti yang ia alami. Lalu ia pun berkata kepada si pembawa air, “Berikan dulu kepada Ikrimah,”. Seketika itu pula si pembawa air menuju tempat Ikrimah tergeletak tak berdaya untuk memberikan air kepadanya
Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya. Ia juga melihat Ayyash sedang dalam kondis kritis seperti dirinya atau bahkan mungkin lebih parah lagi. Lalu dengan tegas Ikrimah berkata kepada si pembawa air, “Berikan dulu kepada Ayyasy!”. Si pembawa air pun langsung menuju tempat Ayyash.
Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, ternyata didapatinya Ayyashs telah syahid. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun ia juga mendapati bahwa keduanya telah menemui syahidnya.
Kesadaran inilah yang perlu kita tumbuhkan pada setiap diri kita masing-masing, khususnya sebagai orangtua dan juga pendidik. Kita harus memulai mentransfer nilai-nilai mulia ini kepada anak-anak kita sejak dini.
Dari kisah diatas dapat mengambil pelajaran, bahwa kemuliaan hidup hanya dapat diraih dengan tidak mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang lain, jujur dan selalu berbagi dengan orang lain.
Mendahulukan kepentingan umum atas individu adalah perbuatan yang baik dan terpuji. Ego pribadi mampu dijaga dan dikendalikan demi kemaslahatan lebih besar. Begitu pula halnya ketika seseorang men dahulukan orang lain atas pribadinya.
‘’Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).’‘ (QS Alhasyr [59]: 9).
Akan tetapi, di atas itu semua, faktor kemaslahatan tetaplah menjadi ukurannya. Da lam Islam ada batasan dan ketentuan tertentu untuk setiap pekerjaan. Islam memang menganjurkan berbuat baik kepada orang lain.
Namun, Islam juga meng anjurkan berbuat baik pada diri sendiri. Sama halnya tatkala Islam menyerukan manusia berbuat adil kepada orang lain, maka Islam pun menyerukan manusia agar berbuat adil pada diri sendiri.
Oleh karena itu, mendahulukan orang lain perihal ibadah pun memiliki aturan. Dalam konteks ini, mendahulukan pribadi dalam hal ibadah dan segala sesuatu yang bertujuan mendekatkan diri pada Allah SWT, lebih dianjurkan ketimbang mendahulukan orang lain.
Bahkan, para ulama memakruhkan beritsar (mendahulukan orang lain), dalam masalah ibadah (vertikal). Alasannya, mendahulukan orang lain dalam hal ibadah justru akan membuat diri lalai akan ibadah itu. Ironisnya, kita sering kali tidak menyadari.
Mempersilakan orang lain melaksanakan shalat lebih dahulu, memberi kesempatan orang lain mengisi barisan lebih depan dalam shalat berjamaah, dan sebagainya, merupakan contoh itsar dalam praktik ibadah. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Tidaklah suatu kaum mengakhir-akhirkan (perbuatannya) kecuali Allah pun akan mengakhirkan mereka.’‘ Senada dengan di atas, perintah untuk menjaga diri dari siksa api neraka pun dimulai dengan menjaga diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian, barulah disusul menjaga keluarga (QS Attahrim [66]: 6).
Kiranya, seperti itulah gambaran prioritas dalam Islam perihal beribadah. Sebab sejatinya, melihat skala prioritas dalam Islam sangat dianjurkan, namun bukan berarti mengabaikan kepentingan pribadi.
Sekarang bukan saatnya lagi bersantai beribadah, apalagi sampai melalaikan. Melainkan berlomba-lomba mendapatkan posisi terbaik guna menggapai ridha-Nya adalah spirit yang mesti digaungkan.
Ingatkah waktu mendapat pelajaran PMP atau PPKN saat dibangku SD atau SMP? Di dalamnya dipelajari tentang mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi atau golongan, namun ternyata pelajaran tersebut sudah dijelaskan lebih dahulu dalam dienul islam. Betapa sempurna dinul islam, semua perkara telah dijelaskan didalamnya dari hal yang sepele hingga yang agung.
Dengan mendahulukan kepentingan orang lain kita diajari agar tidak egois, dan menjadi orang yang pemurah. Seperti halnya, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendidik istri-istrinya untuk mendahulukan orang lain, memberikan makanan kepada orang lain meskipun terkadang makanan tersebut tidak ada selainnya. Begitupula saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat untuk bershadaqah.
Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Suatu hari Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk bershadaqah, dan saat itu saya memiliki harta. Saya pun bergumam, ‘Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, saya akan sedekahkan separuh hartaku.’
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?’ Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Separuhnya lagi.’
Ternyata datanglah Abu Bakar membawa semua hartanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Lalu apa yang engkau sisakan untuk keluargamu.’ Maka Abu Bakar menjawab, ‘Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Tahqiq Misykah: 6021)
Subhanallah sangat indah perilaku untuk mendahulukan orang lain. Seharusnya kita meniru untuk senantiasa dapat mencontoh suri teladan tersebut.
Akan tetapi bagaimana jika itsar dilakukan dalam ibadah? Mungkin ada disekitar kita sering terjadi, misalnya saja terjadi ketika akan menunaikan shalat berjama ‘ah di masjid. Si X telah datang lebih awal dan mendapat shaf pertama, akan tetapi waktu berselang ada si Y yang datang juga dan tidak menjumpai shaf pertama. Kemudian si X mempersilakan si Y untuk menempati posisinya, hanya karena si Y adalah atasannya. Nah ini salah satu contoh itsar dalam ibadah. Benarkah hal tersebut? Bagaimana kita menyikapinya?
Ternyata telah ada kaidah yang shorih (jelas) mengenai hal tersebut yaitu ‘mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah dibenci, namun dalam masalah lainnya disukai.’
Dalam kaidah diatas kita temui kata ‘al-iitsaaru‘, apa itu al-iitsaaru atau yang sering kita sebut itsar?
Itsar : Adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Ada dua macam itsar:
Itsar dalam Perkara Duniawi
Misalnya: Ketika kita meminjamkan motor kepada orang lain yang harus segera dibawa ke rumah sakit namun ketika itu pula kita juga membutuhkan. Nah inilah contoh sederhana itsar dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya masih banyak lagi.
Itsar dalam perkara duniawi seperti contoh diatas sangat dianjurkan bagi umat Islam. Allah sangat menyenangi perkara tersebut.
“Dan orang-orang yang telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran darinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-Hasyr: 9)
Itsar dalam Perkara Ibadah
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Allah Ta’ala.
Jadi kita tidak boleh untuk mendahulukan orang lain atas diri kita dalam perkara ibadah. Bahkan orang tersebut adalah pimpinan, mertua atau orang-orang yang kita sayangi sekalipun.
Mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain memiliki keutamaan besar di sisi Allah Ta’ala. Bahkan Allah memuji mereka yang memberi kepada orang padahal ia membutuhkannya.
Pengasuh Pesantren Al Hawthah Al Jindaniyah, Al-Habib Ahmad bin Novel Jindan menjelaskan tingkatan kedermawanan dan kekikiran yang bersumber dari Kitab Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafiz .
Adapun tingkat kedermawanan yang tertinggi dinamakan itsar atau altruisme atau mementingkan orang lain. Yaitu, seseorang tetap mau bersedekah walaupun ia juga membutuhkan.
Adapun tingkat kekikiran yang paling tinggi adalah jika seseorang berperilaku pelit terhadap dirinya sendiri padahal ia membutuhkan. Lihatlah jauhnya perbedaan di antara dua orang tersebut. Sesungguhnya akhlak terpuji adalah anugerah Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam (SAW) bersabda, “Siapa saja yang menginginkan sesuatu karena nafsu, tetapi ia berhasil mengekangnya, dan ia mendahulukan kebutuhan orang lain atas dirinya, ia diampuni dosa-dosanya.” Aisyah radhiallhu ‘anha (RA) mengatakan, “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang selama tiga malam berturut-turut sejak beliau datang di Madinah hingga wafat”.
Suatu ketika datang seorang tamu menginap di tempat Rasulullah SAW, tetapi beliau tidak mempunyai apa-apa. Lalu masuklah seorang lelaki dari kalangan Anshar dan membawa tamu itu ke rumahnya.
Lelaki itu kemudian menyuguhkan makanan kepada tamu tersebut dan menyuruh istrinya mematikan lampu. Ia pun mengulurkan tangannya ke makanan seakan-akan ia juga ikut makan. Padahal ia tidak makan sebelum tamunya makan.
Ketika pagi tiba, Rasulullah berkata kepada lelaki Anshar itu, “Sungguh, Allah kagum dengan apa yang telah engkau lakukan terhadap tamumu tadi malam. Lalu turunlah wahyu Allah, “…Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri walaupun mereka juga memerlukan.”